Di Balik Layar Berita: Bahaya yang Mengintai Jurnalis Indonesia
Latar Belakang
Jurnalis di Indonesia sering kali menghadapi risiko yang signifikan dalam menjalankan tugas mereka. Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kematian terhadap jurnalis adalah adanya ancaman langsung dari beberapa pihak yang merasa terpojok atas liputan yang para jurnalis dilakukan.
​
Kekerasan oleh Ajudan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) di Semarang menjadi salah satu contoh dari rentannya posisi jurnalis di daerah yang sering terlibat dalam konflik dan isu dengan risiko tinggi, di mana sejumlah jurnalis mengalami pemukulan dan pengancaman saat peliputan. Dikutip dari Tempo.co pada Sabtu, 5 April 2025 saat meliput kunjungan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, ia juga mengancam jurnalis lain dengan berkata, “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.” Insiden ini memicu keresahan dan kecaman dari organisasi wartawan yang menuntut sanksi tegas terhadap pelaku.
​
Sementara itu, di satu sisi kasus ancaman terhadap jurnalis di Indonesia bukan hanya melibatkan aparat kepolisian, tetapi juga institusi militer. Salah satu insiden terbaru yang menyorot perhatian publik adalah intimidasi yang dilakukan oleh ajudan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto terhadap jurnalis Kompas.com, Adhyasta Dirgantara, pada 27 Februari 2025 di Lapangan Bhayangkara. Kejadian ini bermula ketika Adhyasta mencoba melakukan wawancara doorstop terkait insiden penyerangan Polres Tarakan oleh oknum prajurit TNI. Setelah Panglima TNI berkenan menjawab pertanyaan, dua ajudan mendekati Adhyasta dan melontarkan ancaman verbal dengan nada keras, “Kutandai muka kau, aku sikat kau”. Ancaman tersebut tidak hanya bersifat intimidatif, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan fisik dan psikologis jurnalis.
​
Selain ancaman fisik, intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia juga menjadi masalah serius. Banyak jurnalis mengalami teror dan ancaman dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan berita yang mereka laporkan. Intimidasi yang sering terjadi adalah perundungan siber, doxing, atau bahkan ancaman langsung yang dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik mereka. Dalam banyak kasus, jurnalis tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari institusi tempat mereka bekerja, sehingga mereka terpaksa menghadapi risiko ini dengan sendirian.
Minimnya Dukungan dan Pelatihan Keamanan
Jurnalis daerah sering bekerja dengan sumber daya yang terbatas dan tanpa dukungan keamanan dari institusi media maupun pemerintah. Banyak perusahaan media mungkin tidak menyadari pentingnya keamanan digital atau menganggapnya sebagai hal yang kurang prioritas. Dalam hasil riset, menunjukkan bahwa indeks keamanan digital perusahaan media di Indonesia masih rendah, dengan skor hanya mencapai 19,71 dari nilai maksimal 31, yang mencerminkan kurangnya perhatian terhadap praktik pengamanan. Padahal, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjamin perlindungan hukum bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum".