Politik Dinasti
atau
"Politik Keluarga?"
Latar Belakang
Politik dinasti merupakan sistem politik yang memberi peluang kepada seseorang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan biasanya dipegang oleh kelompok yang berperan penting dalam bidang politik dan memiliki hubungan darah yang diwariskan dari suatu anggota keluarga ke anggota keluarga yang lainnya.
​
Dalam sistem politik dinasti dapat mencangkup beberapa bentuk seperti monarki absolut, oligarki, atau republik berkaitan dengan keluarga yang memegang pemerintahan atau kekuasaan, memiliki pengaruh besar dalam politik yang mewariskan jabatan, politik dinasti pada dasarnya dibangun untuk membuat strategi untuk memperoleh kekuasaan, politik ini memiliki dua sisi baik positif maupun negatif, dalam sisi positif yaitu menstabilisasi dalam tugas dan kepemimpinan serta tanggung jawab, namun generasi pemilik kekuasaan merupakan generasi yang memang kompeten dan mumpuni, maka sistem perpolitikan dinasti akan sangat membantu dalam pengasingan group ataupun kelompok perusak.
​
Masyarakat secara langsung dan tidak langsung memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin mereka, tidak memandang pantas atau tidak dalam memimpin. kelebihan dari sistem politik dinasti apabila sudah dipercaya ataupun masyarakat telah memiliki keyakinan pada satu garis keturunan tertentu, maka pengendalian ataupun pengaturan terhadap sistem sosial dapat dilakukan dengan mudah.
​
Sisi buruknya sistem politik dinasti dapat mengandung konotasi negatif ketika sistem perpolitikan tersebut dipadupadankan pada pengambilan kekuasaan, kepemimpinan bukan lagi menjadi hal krusial pada sistem dinasti. Hal ini sudah banyak terjadi dan banyak partai politik yang mempersiapkan generasinya untuk bersanding di kursi perpolitikan nasional.
Demokrasi Antikritik
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia menggunakan sistem demokrasi. Dimana bahwa penempatan jabatan strategis di pemerintahan merupakan yang jabatan politik dilakukan melalui mekanisme pemilihan sehingga jabatan seperti presiden, gubernur, bupati, dan walikota merupakan jabatan politik.
​
Perihal pengisian jabatan merupakan poin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi dalam pengimplementasinya pemilihan jabatan pada masa orde baru dilakukan melalui perwakilan seperti Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang memilih presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi yang memilih gubernur, dan DPRD Kabupaten/kota yang memilih bupati dan walikota. Dengan Menggunakan sistem ini mengakibatkan terjadinya pemufakatan yang tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat berdaulat di negara yang menganut sistem demokrasi damai.
​
Pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan, mengimplementasikan prinsip kedaulatan rakyat, dan juga melaksanakan prinsip hak asasi warga negara. Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) idealnya harus menghindari praktik politik dinasti yang mengedepankan kekeluargaan, kekerabatan, dan persekongkolan kelompok yang akan menutup ruang gerak bagi kaderisasi partai untuk turut serta berkompetisi dalam kontestasi politik. Fenomena politik dinasti ini dipandang sebagai ketidakberhasilan pendidikan politik dalam melahirkan kaderisasi dari dalam partai.
​
Pada tahun 2015, DPR bersama pemerintah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang di dalamnya memuat pasal pelarangan pencalonan kepala daerah yang memiliki konflik kepentingan dengan pemilihan tepatnya pada Pasal 7 huruf (r) yang berbunyi “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.” Lebih lanjut pada pasal tersebut, diatur bahwa “Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.”
​
Namun sayangnya, pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai pembatasan pencalonan kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf (r) adalah bentuk pembangkangan konstitusi, tepatnya Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. MK menilai setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tanpa mempertimbangkan garis keturunan dari warga negara tersebut. Pembatasan yang terdapat pada Pasal 7 huruf (r) sejatinya melanggar hak konstitusional warga negara.
Dampak Ekonomi dari Politik Dinasti
Dampak ekonomi yang akan terkena dengan adanya politik dinasti, keserakahan atau peraturan yang dibuat oleh yang membuat peraturan tersebut, putusan perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 tersebut mencuatkan kembali polemik di ranah publik tentang dampak dari politik dinasti terhadap ekonomi dan usaha membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan antikorupsi.
​
Jika dilihat dari kasus yang terjadi di luar negeri, atau yang pernah terjadi kita harus waspada dengan adanya politik dinasti yang dapat membuat pemegang kekuasaan bisa untuk membuat peraturan yang merugikan masyarakat dengan tujuan yang menguntungkan pihak tertentu.
Hubungan Answar Husman dengan Presiden Jokowi Widodo
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman merupakan seorang Adik Ipar dari Presiden Republik Indonesia Jokowi Widodo yaitu Ibu Idayanti, hubungan keluarga antara Anwar Usman dengan Presiden Joko Widodo disinggung dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat usia calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).
​
Banyak Masyarakat yang menilai bahwa Anwar Usman memutuskan gugatan nomor 90 dengan ambisi dari Presiden Jokowi yang ingin anaknya sekaligus Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengikuti Pilpres 2024. Dikatakan Ketua MK Anwar Usman telah melakukan pendekatan dengan hakim konstitusi lainnya sebelum memutus gugatan nomor 90 ini seakan-akan rangkaian konflik kepentingan ini seolah disusun sedemikian rupa sebelum perkara selesai.
Kesimpulan
Dalam politik dinasti, kekuasaan dan pengaruh politik diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga. Politik dinasti dapat mengakibatkan kepentingan suatu organisasi yang terpusat pada suatu keluarga yang dapat mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat, hilangnya demokrasi, menghilangkan kesempatan orang lain, ketidakmerataan akses yang diterima oleh masyarakat. Meskipun sistem ini dapat memberikan stabilitas dan tanggung jawab, terdapat juga dampak negatif seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan pembatasan demokrasi. Penerapan politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah juga menimbulkan kontroversi, terutama terkait pembatalan pasal yang melarang konflik kepentingan, yang bisa menjadi potensi risiko korupsi. Dampak ekonomi dari politik dinasti juga perlu diperhatikan, karena kebijakan yang diambil cenderung lebih menguntungkan keluarga atau kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat luas. Adanya hubungan keluarga antara Anwar Usman dan Presiden Jokowi menimbulkan spekulasi tentang konflik kepentingan, terutama terkait putusan di Mahkamah Konstitusi yang dapat memengaruhi proses politik di masa depan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik di Indonesia.
​
Referensi
https://www.liputan6.com/news/read/2820755/ini-dia-dinasti-politik-pertama-di-indonesia
https://babel.bawaslu.go.id/kekuasan-dinasti-politik/
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11428
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19824&menu=2