Problema Pasal Karet di Balik Pengesahan RKUHAP: “Semua Orang Dapat Menjadi Korban Kesewenangan Aparat!
Latar Belakang
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) seharusnya menjadi pembaruan hukum acara pidana untuk memperbaiki kelemahan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) 1981. Namun, RUU ini justru berkembang menjadi perangkat legislasi yang sarat problem atau menimbulkan banyak permasalahan. ​Pada 13 November 2025, Komisi III DPR RI dan pemerintah secara resmi menyetujui membawa RKUHAP untuk diangkat ke tingkat paripurna. Pada 18 Novemer 2025, RKUHAP resmi disahkan pada Rapat Paripurna oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses ini dilakukan terburu-buru dan minim partisipasi publik, yang memperlihatkan jelas bagaimana legislasi kn menjauh dari prinsip-prinsip demokratis.
​
Alih-alih memperkuat due process of law (proses hukum yang adil), RUU ini menegaskan kecenderungan negara menuju over-criminalization lewat perluasan kewenangan penangkapan, penyadapan, dan penahanan tanpa kontrol yudisial memadai. Pasal-pasal yang memusatkan kekuasaan pada aparat menggeser tujuan asli pembaruan dari memperbaiki keadilan menjadi memperkokoh instrumen koersif negara (tindakan pemaksaan). Jika disahkan, Indones bukan sekadar menerima aturan acara pidana baru, melainkan menyetujui model penegakan hukum yang lebih represif, dan melegalisasikan praktik penyalahgunaan perancangan Undang-Undang yang berpotensi menimbulkan legitimasi represi dari pihak yang diuntungkan alih-alih reformasi hukum demi keadilan seluruh masyarakat.
A. Rincian Bahaya RKUHAP: Ketika Semua Bisa Dijebak, Ditangkap, dan Direkayasa
-
Penangkapan & Penahanan di Tahap Penyelidikan (Pasal 5)
RKUHAP mengizinkan aparat untuk menangkap, menggeledah, membatasi gerak, hingga menahan seseorang pada tahap penyelidikan, padahal pada tahap ini belum ada tindak pidana yang dipastikan terjadi. Ini merupakan penyimpangan tajam dari KUHAP existing dan menjadikan penyelidikan sebagai tahap paling rawan kriminalisasi.
2. Legitimasi Penjebakan (Pasal 16)
RKUHAP melegalkan praktik undercover buy dan controlled delivery sebagai metode penyelidikan. Ini berarti aparat dapat menciptakan tindak pidana dan merekayasa “pelakunya” bahkan sebelum ada kejahatan. Kewenangan ini tidak diawasi hakim dan membuka ruang luas bagi praktik penjebakan (entrapment), yang merupakan pelanggaran serius dalam sistem hukum Indonesia.
3. Upaya Paksa Tanpa Izin Hakim (Pasal 90, 93)
RKUHAP tidak menghadirkan mekanisme habeas corpus (jaminan penting untuk mencegah penahanan tanpa dasar hukum), sehingga penangkapan dan penahanan dapat dilakukan tanpa izin dan tanpa pengawasan hakim. Draft baru justru membiarkan praktik penangkapan berkepanjangan yang sering dipakai untuk menekan tersangka dan menghindari kontrol hakim, sehingga ruang kesewenang-wenangan aparat semakin besar.
B. Otoritas Luas Tanpa Pengawasan Yudisial
1. Restorative Justice Menjadi Ruang Pemerasan (Pasal 74A, 78–79)
RKUHAP membolehkan kesepakatan “damai” bahkan ketika tindak pidana belum jelas ada atau tidak. Pada tahap penyelidikan, aparat dapat memaksa “RJ” tanpa mekanisme pelaporan atau pengawasan. Pengadilan hanya berfungsi sebagai stempel formalitas, tanpa kewajiban melakukan pemeriksaan substantif. Kombinasi ini membuka ruang luas bagi praktik pemerasan, pemaksaan damai, dan manipulasi proses hukum.
2. Penggeledahan, Penyitaan, dan Penyadapan Tanpa Kontrol (Pasal 105, 112A, 132A, 124)
RKUHAP memberi penyidik kewenangan luas untuk menggeledah, menyita, memblokir, bahkan menyadap hanya berdasarkan penilan subjektif aparat. Penyadapan bahkan bisa dilakukan berdasarkan undang-undang yang belum dibentuk. Praktik ini memaksa warga hidup di bawah bayang-bayang negara pengawas tanpa kontrol yudisl.
​
C. Ancaman Terhadap Kelompok Rentan dan Implementasi
1. Pemusatan Kekuasaan di Bawah Polri (Pasal 7–8)
Dengan menempatkan seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Khusus di bawah koordinasi Polri, RKUHAP menciptakan institusi superpower yang dapat mengendalikan hampir seluruh proses penegakan hukum atau Dwifungsi Polri. Pemusatan kekuasaan ini rawan menciptakan penyalahgunaan yang sistematis, mengingat Polri masih menghadapi masalah tunggakan perkara dan sorotan publik yang negatif.
2. Penyandang Disabilitas Tanpa Perlindungan (Pasal 137 Ayat (1) )
RKUHAP tetap bersifat ableistik (menganggap orang-orang penyandang disabilitas memiliki status yang lebih rendah) karena tidakdtur secara jelas untuk mewajibkan akomodasi layak. Lebih serius lagi, Pasal 137 Ayat (1) memungkinkan penghukuman tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual karena sanksi yang dijatuhkan bukan lah sanksi tindak pidana, sehingga tidak memiliki batas waktu yang jelas terkait “penahanan” tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan legitimasi “pengurungan” dengan dalih rehabilitas secara sewenang-wenang.
3. Pemberlakuan Tanpa Masa Transisi (Pasal 334)
RKUHAP akan berlaku langsung pada 2 Januari 2026 tanpa masa transisi, padahal lebih dari 10 Peraturan Pemerintah yang dibutuhkan sebagai aturan turunan belum ada. Akibatnya, jutaan aparat dan warga akan menghadapi hukum acara pidana baru tanpa pedoman yang jelas, menjadikan kekacauan implementasi sebagai kepastian.
​
RKUHAP tidak hanya bermasalah tetapi berbahaya. Dengan kewenangan aparat yang semakin diperluas, minim pengawasan hakim, ruang lengkap untuk penjebakan, kriminalisasi pada tahap penyelidikan, hingga potensi detensi sewenang-wenang, RKUHAP adalah bentuk pengesahan represif yang dilegalkan melalui legislasi terburu-buru. Semua bisa dijebak. Semua bisa ditangkap. Semua bisa direkayasa menjadi tersangka.
​
B. PEMBAHARUAN KUHAP YANG MENYIMPANG: REFORMASI HUKUM BERUBAH MENJADI EKSPANSI KEKUASAAN APARAT
​
​Pembaruan KUHAP 1981 dinilai mendesak untuk harmonisasi dengan KUHP baru (Januari 2026), namun desain RKUHAP mengindikasikan diskrepansi kebijakan kriminal fundamental yaitu pergeseran dari perwujudan keadilan prosedural (due process) menuju legitimasi perluasan kekuasaan Aparatur Penegak Hukum (APH).
A. Cacat Prosedur dan Hilangnya Legitimasi Demokratis
​Proses legislasi RKUHAP dikritik karena mendeformasi prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
1. Proses Legislasi yang Dipertanyakan
​Ketergesaan dan Ketertutupan: Pengambilan keputusan Tingkat I (Komisi III DPR RI dan Pemerintah) diselesaikan dalam tempo dua hari (sebelum 13 November 2025).
2. Pengabaian Masukan Publik: Masukan kritis dari Koalisi Masyarakat Sipil, baik melalui RDPU maupun tertulis, tidak direspons atau dipertimbangkan, hanya dnggap sebagai formalitas.
3. Kritik Keras YLBHI: YLBHI Melabeli RKUHAP sebagai "MEANINGFUL MANIPULATION RKUHAP: RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HARAPAN PALSU."
4. ​Indikasi Legislative Capture: Disinyalir adanya kepentingan sektoral koersif yang menunggangi urgensi reformasi, menghasilkan produk hukum yang cacat prosedur secara demokratis.
B. Kontroversi Pasal RKUHAP
1. Upaya Paksa Tanpa Ukuran Jelas
- Pasal: Pasal-Pasal mengenai Penangkapan, Penahanan, dan Penggeledahan (Misalnya, Pasal 16, 17, dan 33 RKUHAP yang mengatur kewenangan aparat).
- Isi: Kewenangan melakukan upaya paksa, termasuk penangkapan, penahanan, dan penggeledahan, dinilai diberikan tanpa batasan dan syarat yang jelas (akuntabilitas) yang memadai bagi Aparat Penegak Hukum (APH).
- Dampak Pada Masyarakat: Risiko penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Hal ini membuka celah penyalahgunaan wewenang dan eksploitasi kekuasaan oleh APH karena tidak adanya mekanisme judicl scrutiny (pengawasan pengadilan) yang kuat sejak awal.
2. Minim Pengawasan Yudisl terhadap Upaya Paksa
- Pasal: Pasal 149, 152 ayat (2), 153, 154 (RKUHAP Versi 2024 yang dibahas DPR)
- Isi: Tidak secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicl scrutiny) terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan APH di tahap penyidikan.
- Dampak Pada Masyarakat: Hak-hak sipil individu terancam. Keputusan penangkapan atau penahanan oleh penyidik/penuntut umum tidak dikontrol langsung oleh hakim, sehingga sulit memastikan apakah upaya paksa telah sesuai dengan hukum dan hak asasi manus.
​
3. Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan/Penyelidikan
- Pasal: Pasal 16 (Tentang Kewenangan Penyidikan dan Penyelidikan) dan Pasal 42.
- Isi: Adanya potensi perluasan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan sendiri tindakan penyidikan atau penyelidikan tanpa selalu melalui Kepolisn.
- Dampak Pada Masyarakat: Terjadi tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisn. Hal ini dikhawatirkan dapat memperumit proses hukum, menimbulkan konflik antar-lembaga, dan membuat masyarakat bingung mengenai jalur pelaporan atau proses hukum yang sedang berjalan.
4. Investigasi Khusus Tanpa Kontrol
- Pasal: Pasal 16 (Teknik Investigasi Khusus)
- Isi : Teknik investigasi seperti penyadapan, undercover, dan penggeledahan tidak dtur dengan batasan dan syarat yang jelas serta tanpa pengawasan di tahap penyelidikan.
- Dampak Pada Masyarakat: Pelanggaran privasi dan hak-hak asasi warga negara rentan terjadi. Potensi penyalahgunaan teknik investigasi (misalnya penjebakan) tanpa ada kontrol yang kuat dari pihak luar APH.​
​
PEMBOHONGAN DALAM PROSES PENGESAHAN!
Proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang ini hanya berlangsung dalam dua hari, pada 12-13 November 2025. Pada rapat tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil. Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang diberikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil melalui berbagai kanal, antara lain melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah. Koalisi Masyarakat Sipil menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal, ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil.
​
​
TUNTUTAN!
Kami turut menyuarakan tuntutan terbuka Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaharuan KUHAP dengan merevisi beberapa poin atas pertimbangan kami karena RKUHAP telah disahkan, kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kementerian Hukum, dan Kementerian Sekretariat Negara; Berdasarkan seluruh persoalan dan ancaman yang telah diuraikan di atas yang dengan terang menunjukkan bahwa RKUHAP bukanlah pembaharuan, melainkan ancaman terhadap kebebasan sipil dan supremasi hukum. Dengan ini kami mendesak tuntutan berikut:
​
1. Presiden menarik pengesahan RKUHAP BERMASALAH per 18 November 2025 demi perbaikan sistem hukum acara pidana yang transparan, akuntabel dan mengedepankan prinsip peradilan yang inklusif, jujur dan adil (fair trial) yang menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Presiden dan DPR RI seharusnya menjunjung tinggi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, warga negara, bukan justru disusun untuk melindungi kepentingan kekuasaan, institusi / aparat penegak hukum, atau lainnya; Penarikan ini penting sebagai koreksi atas proses legislasi yang sejak awal cacat partisipasi dan minim transparansi. Presiden harus menunjukkan keberpihakan pada prinsip negara hukum, bukan pada ekspansi kekuasaan aparat. Ketika sebuah rancangan hukum berpotensi mengurangi hak-hak konstitusional warga, negara memiliki kewajiban untuk menunda, mengevaluasi, dan memperbaiki, bukan memaksakan pengesahan. Menghentikan pengesahan RKUHAP saat ini adalah langkah krusial untuk menghindari terbentuknya rezim penegakan hukum yang lebih represif dan sulit dibalik setelah disahkan.
​
2. Pemerintah dan DPR merombak substansi RKUHAP per 18 November 2025 dan membahas ulang arah perubahan KUHAP dengan memperkuat judicial scrutiny, check and balances, serta mempertimbangkan Draft Tandingan Masyarakat Sipil ataupun masukan masyarakat lainnya.
​
Substansi RKUHAP secara sistemik menggerus fungsi pengawasan yudisial dan memperluas ruang penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, revisi total bukan opsi, melainkan kewajiban konstitusional. Dengan mengabaikan masukan tersebut, DPR dan pemerintah justru memperlemah legitimasi mereka dan menunjukkan bahwa proses legislasi hanya menjadi alat politik bukan wadah deliberasi publik (mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada dengan teliti, saksama, dan melibatkan semua pihak). Oleh karena itu, perombakan substansi bukan sekadar teknis, tetapi penegasan bahwa negara menghormati akuntabilitas dan prinsip Pancasila.
​
3. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan menyesatkan terkait pemberlakuan KUHP Baru untuk memburu-buru melakukan pengesahan RKUHAP yang masih cacat hukum.
​
Alasan percepatan harmonisasi dengan KUHP Baru adalah narasi yang menyesatkan publik. Harmonisasi tidak berarti pengesahan harus berlangsung terburu-buru, apalagi ketika RKUHAP memuat risiko besar terhadap hak-hak warga negara. Jika pemerintah dan DPR menjadikan KUHP Baru sebagai dalih, itu menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan kepentingan politik dan mengejar target legislasi daripada memastikan kualitas hukum yang akan berdampak puluhan tahun ke depan.
Tindakan ini mencederai integritas proses legislasi dan memperkuat persepsi bahwa parlemen tidak bekerja untuk publik. RUU yang berpotensi mengubah wajah penegakan hukum secara fundamental harus dibahas dengan kehati-hatian ekstrem, bukan dengan mentalitas “yang penting cepat selesai”.
​
4. Pemerintah dan DPR berhenti membohongi publik dengan narasi tidak benar pada postingan di media, dan tidak memberikan substansi masukan yang tidak sesuai atau bahkan tidak disampaikan sama sekali oleh masyarakat.
​
Dengan kata lain, masalah RKUHAP bukan terletak pada detail pasalnya semata, tetapi pada logika dasarnya yang menempatkan warga sebagai objek yang harus diawasi, bukan subjek hukum yang harus dilindungi. Karena itu, pembaharuan terhadap proses legislasi yang terburu-buru dan cacat substansi berarti membiarkan negara melangkah ke arah otoritarnisme prosedural yang jauh dari Sistem Negara Demokrasi, dimana hukum diproduksi, tetapi tidak melindungi. Atas dasar kegentingan inilah, seruan berikut bukan hanya tuntutan politik, tetapi aspirasi demokratis yang harus disampaikan secara tegas.






