top of page

Menyoal Kepahlawanan di Tengah Luka Bangsa: Ironi Penghormatan bagi Pelanggar HAM

Latar Belakang

Gelar Pahlawan Nasional sejatinya merupakan bentuk penghormatan tertinggi negara bagi individu yang telah berjasa besar dalam memperjuangkan kemerdekaan, memperkokoh persatuan, serta mewujudkan kesejahteraan bangsa. Namun, makna luhur tersebut kini menghadapi krisis moral dan legitimasi pasca penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto pada 10 November 2025, yang diajukan secara resmi oleh Kementerian Sosial sejak 24 April 2025. Penetapan ini dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Dalam keputusan tersebut, Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan bidang perjuangan. Soeharto, yang dikenal sebagai arsitek Orde Baru, memang berhasil membawa stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi pesat, namun tidak dapat dilepaskan dari rekam jejak pelanggaran HAM berat, korupsi terstruktur, dan represi politik sistemik yang menandai tiga dekade kekuasaannya. Pemberian gelar tersebut menunjukkan adanya kontradiksi mendasar antara nilai simbolik kepahlawanan dan rekam sejarah kelam yang sampai sekarang belum pernah dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral.

​

Kontroversi ini bukan sekadar perdebatan historis, melainkan refleksi atas ketidakjujuran kolektif bangsa dalam menghadapi masa lalu kelam. Penolakan dari berbagai pihak, termasuk KontraS dan YPKP 1965, menegaskan bahwa penganugerahan ini bukan sekadar penghargaan personal, tetapi juga bentuk pembiaran terhadap impunitas dan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan transisional. Di sisi lain, dukungan terhadap gelar ini memperlihatkan kecenderungan revisionisme sejarah yang berupaya menormalisasi kekerasan negara demi legitimasi politik. Dengan demikian, keputusan ini mencerminkan kemunduran moral dan etika publik dalam tata kelola penghormatan negara. Ironinya, alih-alih menjadi simbol persatuan, gelar ini justru memperdalam luka sosial dan menegaskan bahwa Indonesia masih gagal membedakan antara kepahlawanan sejati dan kekuasaan yang disucikan oleh sejarah yang belum berdamai dengan kebenaran

​

Analisis Dosa Masa Lalu Soeharto

Berikut fakta aktual mengenai masa lalu Soeharto. “Pantaskah Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Kepada Soeharto?”

​

A. Otoritarianisme, Pembatasan Demokrasi, dan Praktik KKN 

Selama 32 tahun masa pimpinan Soeharto, ia menjalankan pemerintahan yang otoriter, dengan kontrol ketat terhadap kebebasan pers, politik, dan menekan opsisi/masyarakat sipil dengan beberapa hal yang menjadi sorotan:

  • Sentralisasi Kekuasaan secara penuh di tangan presiden, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

  • Pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR bukan oleh rakyat.

  • Pembatasan kebebasan berpendapat baik secara langsung maupun terhadap media informasi. 

  • Pembatasan kebebasan politik dan Oposisi dengan cara memaksa partai politik disederhanakan menjadi 3 saja yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

  • Pemilu yang tanpa adanya demokrasi, karena kekuasaan sangat didominasi oleh Golkar.

  • Militerisasi kehidupan sipil melalui doktrin “Dwi Fungsi ABRI” (Tentara memiliki peran ganda, militer, dan sosial politik).

  • Penindasan terhadap orang yang berpaham ideologi selain Asas Tunggal Pancasila, khususnya penuduhan simpatisan PKI.

​

PRAKTIK KKN

  • Soeharto sebagai simbol Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Orde Baru berdasarkan TAP MPR XI/MPR/1998.

  • Menurut catatan Kompas.com, proses penyelidikan terhadap dugaan penyelewengan dana oleh Soeharto dimulai pada 1 September 1998 setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan indikasi penyalahgunaan dana. Menindaklanjuti temuan tersebut. 

  • Berdasarkan temuan tersebut, pada 2 Desember 1998 Presiden Ketiga RI, BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 yang memerintahkan Kejagung mengusut tuntas harta kekayaan Soeharto. Pengusutan kasus ini tak berjalan mulus.

  • Pada 11 Oktober 1999, Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena disebut tak cukup bukti. SP3 yang dikeluarkan ini dinilai janggal karena bukti kekayaan Soeharto yang melimpah sudah dikantongi.

  • Namun, penyelidikan tersebut tidak berjalan mulus. Pada 11 Oktober 1999 dengan alasan kurangnya bukti. Langkah ini dinilai janggal karena pada saat itu telah ditemukan sejumlah bukti kuat, antara lain kekayaan Soeharto yang mencapai sekitar Rp 4,014 triliun, 72 rekening bank dengan deposito senilai Rp 24 miliar, dana Rp 23 miliar di BCA, serta kepemilikan lahan seluas 400.000 hektar atas nama “keluarga Cendana”.

  • Pada 31 Maret 2000, Soeharto resmi tersangka dengan dugaan penyalahgunaan dana yayasan sosial. Soeharto ditahan dengan tahanan rumah pada 29 Mei 2000, aset serta rekening yayasannya disita 15 Juli 2000.

  • Namun, pada akhirnya Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan SP3 Soeharto sah menurut hukum pada 1 Agustus 2006 dan selanjutnya Soeharto dinyatakan tidak bersalah.

  • Namun ironisnya menjelang penetapan resmi Soeharto sebagai Pahlawan, MPR telah menghapus nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.



 

B. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

32 Tahun memimpin, terdapat juga beberapa catatan-catatan pelanggaran HAM yang dilakukan, sebagai berikut:

  • Peristiwa Pulau Buru 1969-1979, Soeharto telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, kerja paksa massal, penyiksaan dan pembuangan ke Pulau Buru di Maluku, yang mana Pulau tersebut dijadikan kamp tahanan politik terbesar pada masa itu. Ribuan orang dikirim ke sana tanpa proses hukum hanya karena dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI.

  • Penembakan Misterius 1981-1985, Penembakan Misterius “Petrus” yang merujuk pada serangkaian pembunuhan yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, khususnya di bawah pemerintahan Presiden Soeharto pada saat itu.

  • Tanjung Priok 1984-1987, Soeharto sebagai Presiden dan penanggung jawab seluruh kegiatan KOPKAMTIB disebut mewajibkan ABRI mengambil tindakan represif untuk menghadapi kelompok-kelompok islam yang dianggap sebagai golongan ekstrem yang harus dicegah dan ditumpas seperti penanganan G30S.

  • Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998), Dalam kurun waktu 10 tahun berlangsungnya operasi militer telah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/ penganiayaan, dan 102 mengalami pemerkosaan.

  • Peristiwa Talangsari 7 Februari 1989, aparat menyerbu kelompok Warsidi di Dusun Talangsari, Lampung, karena dicurigai melakukan kegiatan ekstrem. Terjadi bentrok dan pembakaran rumah, menewaskan banyak warga, termasuk perempuan dan anak-anak. Jumlah korban tidak pasti; pemerintah mencatat puluhan, sementara Komnas HAM memperkirakan lebih dari 100 orang tewas atau hilang.

  •  Pembantaian Massal Santa Cruz 12 November 1991, terjadi di Pemakaman Santa Cruz, Dili, Timor Timur, saat ribuan warga melakukan aksi damai memperingati kematian aktivis Sebastião Gomes. Aparat militer Indonesia (ABRI) menembaki massa tanpa peringatan, menewaskan lebih dari 250 orang.

  • Pembantaian Rumah Geudong 1989-1998 terjadi di Pidie, Aceh, saat status Daerah Operasi Militer (DOM). Rumah Geudong dijadikan pos interogasi TNI, tempat warga yang diduga anggota GAM disiksa, diperkosa, dan dibunuh. Komnas HAM menetapkannya sebagai pelanggaran HAM berat dengan ratusan korban.

  • Pembunuhan Marsinah 1993, terjadi di Sidoarjo, saat buruh perempuan Marsinah dibunuh setelah memimpin aksi mogok menuntut upah layak. Ia ditemukan tewas dengan tanda penyiksaan. Kasus ini diduga melibatkan aparat, namun tak pernah terungkap, menjadi simbol perjuangan buruh dan pelanggaran HAM Orde Baru.

  • Peristiwa Waduk Nipah 1993, Pada 8 September 1993 Tim BPN yang didampingi Kepala Desa Planggaran Barat, aparat Polsek Banyuates, dan Koramil Banyuates mendapat protes dari masyarakat setempat. Masyarakat meminta pengukuran dihentikan dan memprotes pemaksaan cap jempol yang diklaim sebagai persetujuan untuk melepas tanah mereka.

  • Peristiwa Trisakti 1998, Pada saat bergulirnya gerakan reformasi tahun 1998, yang digerakkan oleh para aktivis gerakan mahasiswa, dari berbagai kampus dalam rangka menumbangkan rezim Orde Baru, berbagai peristiwa kekerasan terjadi kepada para aktivis dalam tujuan membungkam penolakan atas rezim orde baru. 

  • Peristiwa Semanggi I dan II 1998, Terjadi menjelang Sidang Umum MPR 1999. Mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dinilai menghidupkan kembali otoritarianisme militer. Aksi damai mahasiswa berujung bentrok di kawasan Semanggi saat aparat menembakkan gas air mata dan peluru, akibatnya 28 orang meninggal.

  • Kematian Munir Said Thalib (2004) isu pasca orba di awal reformasi, Munir adalah Aktivis HAM terkemuka yang mendirikan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Ia dikenal vokal membela korban pelanggaran HAM, seperti kasus penculikan aktivis 1998, Tragedi Trisakti, dan kekerasan di Aceh serta Timor Timur. Kematian Munir terjadi pasca ia kritis dalam menuntut penyelesaian dan pencarian bukti kasus sisa-sisa kekuasaan otoriter Soeharto (rezim orde baru). Beberapa bukti dan temuan Tim Pencari Fakta (TPF) menunjukkan ada keterlibatan oknum Badan Intelijen Negara (BIN) dalam kematiannya.

​

DENGAN INI KAMI MENUNTUT!

  1. Pencabutan Gelar Pahlawan Nasional Terhadap Soeharto;

  2. Negara dan Pemerintah harus memprioritaskan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu hingga masa kini, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dibandingkan mengesahkan hal-hal yang tidak darurat;

  3. Bahwa kami menolak melupakan sejarah kelam, impunitas militer, dan politik kepentingan yang dilakukan Rezim Orde Baru;

ARGUMENTASI

  • Ketika negara memuliakan sosok yang meninggalkan jejak darah, mengabaikan jeritan korban HAM, dan sibuk mengesahkan hal-hal tak berarti, masih pantaskah kita menyebut pemerintahan ini berpihak pada rakyat dan kemanusiaan?

Copyright © 2024 Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Tarumanagara

​

  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • TikTok
bottom of page