Hari Anti Korupsi Sedunia: Ancaman Nyata Yang Terus Hidup
Latar Belakang​
Setiap tanggal 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Momentum ini bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan pengingat akan kesepakatan global yang tertuang dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal ini untuk menekankan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang memerlukan kerja sama lintas negara, mengingat modus operandinya yang kian transnasional.
​
Indonesia telah menunjukkan komitmen politiknya di panggung internasional dengan meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Ditengah kesiapan Indonesia dalam mengatur korupsi secara tegas berdasarkan regulasi, terdapat implementasi dari Undang-Undang yang masih buruk. Profesor Topo Santoso, yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana, sering menyoroti bahwa salah satu kendala utamanya bukan lagi ketiadaan aturan, melainkan inkonsistensi sistem hukum serta kurangnya komitmen politik ("political will") yang nyata dari penyelenggara negara untuk mematuhi standar internasional yang telah diratifikasi.
Penjelasan​
Secara hukum, pijakan utama definisi korupsi di Indonesia adalah UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Inti dari delik korupsi mencakup tiga elemen vital:
-
Melawan hukum/Penyalahgunaan wewenang;
-
Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
-
Merugikan keuangan atau perekonomian negara.
​
Masyarakat perlu memahami bahwa korupsi memiliki banyak wajah, tidak hanya sekadar mencuri uang negara secara langsung. Beberapa bentuk yang paling umum dan merusak meliputi:
-
Suap & Gratifikasi: sering kali batasnya tipis di mata awam. Jika suap bersifat transaksional (ada kesepakatan di awal), gratifikasi adalah pemberian yang berkaitan dengan jabatan, yang dimana jika tidak dilaporkan dalam 30 hari dianggap suap;
-
Pungutan Liar (Pungli): meminta biaya di luar ketentuan resmi, sering terjadi dalam layanan publik dasar;
-
Konflik Kepentingan: situasi di mana pejabat publik menjadi pengambil keputusan dalam proyek yang melibatkan perusahaan milik pribadi atau kroninya;
-
Korupsi Politik: termasuk vote buying (serangan fajar), mahar politik untuk mendapatkan tiket partai, hingga jual beli jabatan di pemerintah daerah.
Dasar Hukum dan Lembaga Terkait​​
Indonesia sebenarnya memiliki "senjata" hukum yang cukup lengkap. Selain UU Tipikor, terdapat UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang melarang penyalahgunaan wewenang, serta UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menuntut transparansi. Aturan turunan seperti Perpres tentang Whistleblowing System dan pengendalian gratifikasi juga telah diterbitkan untuk mempersempit ruang gerak koruptor.
Tanggung jawab pemberantasan korupsi diemban secara kolektif oleh beberapa lembaga:
-
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi): sebagai trigger mechanism, fokus pada kasus besar, melibatkan aparat penegak hukum lain, dan kerugian negara yang signifikan;
-
Kejaksaan & Polri: memiliki jangkauan luas hingga ke pelosok daerah melalui Kejaksaan Negeri dan Polres/Polda;
-
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) & BPKP (Badan Pengawan Keuangan dan Pembangunan): garda terdepan dalam audit investigatif untuk menghitung kerugian negara;
-
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban): lembaga pendukung yang vital untuk melindungi, mendampingi, dan menjamin keselamatan pelapor serta saksi;
-
Komisi Yudisial: bertugas untuk mengawasi dan menjaga hakim, dengan itu juga memastikan proses peradilan tindak pidana korupsi berjalan dengan adil dan berintegritas.
Sinergi antar-lembaga ini mutlak diperlukan, terutama melalui fungsi Koordinasi dan Supervisi (Korsup) yang dimiliki KPK, untuk mencegah tumpang tindih penanganan perkara.
Disparitas Hukum: Inkonsistensi KUHP 2023 Dengan Standar UNCAC​
Sinergi lembaga di atas kini menghadapi ujian berat dari sisi regulasi itu sendiri. Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru (UU No. 1 Tahun 2023) menunjukkan adanya regresi (kemunduran) hukum yang serius dalam pemberantasan korupsi.
​
1. Pergeseran Paradigma dari Extraordinary Menjadi Core Crime
Dalam rezim hukum sebelumnya, korupsi ditempatkan secara tegas sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang membutuhkan penanganan khusus (lex specialis). Namun, dalam KUHP baru, delik korupsi dikodifikasi menjadi tindak pidana biasa (core crime).
-
Dampak Kritis: perubahan status ini berpotensi mengaburkan kewenangan lembaga khusus seperti KPK. Jika korupsi dianggap kejahatan biasa, maka penyelesaiannya cenderung diarahkan ke peradilan umum, bukan lagi prioritas peradilan khusus Tipikor. Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan instrumen "pemaksa" yang selama ini dimiliki KPK dan membuat penanganan kasus korupsi kehilangan urgensitasnya.
2. Kontradiksi dengan Filosofi UNCAC
Hal ini menciptakan ironi hukum. Dalam pembukaannya, UNCAC secara tegas mendefinisikan korupsi sebagai "insidious plague" (wabah tersembunyi yang jahat/merusak) yang memiliki dampak destruktif terhadap demokrasi, supremasi hukum, dan stabilitas ekonomi.
-
Alih-alih memperkuat aturan untuk melawan "wabah" ini, hukum nasional justru melunak. KUHP baru menurunkan ancaman hukuman minimal bagi koruptor, yang jelas bertentangan dengan semangat efek jera;
-
Selain itu, KUHP baru gagal mengadopsi mandat penting UNCAC seperti kriminalisasi Illicit Enrichment (kekayaan yang tidak wajar dan tidak bisa dibuktikan asal-usulnya) dan Trading in Influence (perdagangan pengaruh). Ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa janji Indonesia di mata PBB belum sepenuhnya sejalan dengan produk hukum domestik.
Tantangan Struktural dan Kontemporer
Meskipun infrastruktur hukum tersedia, pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi jalan terjal akibat beberapa faktor fundamental:
A. Pelemahan Institusional (Revisi UU KPK)
Revisi UU KPK tahun 2019 menjadi titik balik yang krusial. Perubahan status pegawai menjadi ASN, pembentukan Dewan Pengawas, dan mekanisme penyadapan yang lebih birokratis dinilai oleh banyak pegiat antikorupsi telah menumpulkan taji KPK. Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) juga sempat memicu krisis kepercayaan publik terhadap independensi lembaga ini.
​
B. Politik Biaya Tinggi (High Cost Politics)
Ini adalah akar masalah korupsi politik di Indonesia. Mahalnya ongkos untuk menjadi Kepala Daerah atau Anggota Legislatif memaksa kandidat mencari sponsor. Setelah terpilih, terjadi "balas budi" berupa konsesi izin tambang, proyek infrastruktur, atau jual beli jabatan untuk mengembalikan modal kampanye.
​
C. Birokrasi dan Konflik Kepentingan
Modus mark-up anggaran pengadaan barang dan jasa serta pengaturan pemenang tender adalah praktik lama yang sulit hilang karena adanya kolusi antara pengusaha dan pejabat pembuat komitmen (PPK).
​
D. Korupsi Digital dan Kompleksitas Baru
Di era digital, korupsi berevolusi. Manipulasi e-katalog, penyembunyian aset melalui crypto currency, hingga penggunaan nominee (nama pinjaman) dan perusahaan cangkang (shell company) di luar negeri membuat pelacakan aset (asset recovery) menjadi jauh lebih rumit.
​
E. Lemahnya Perlindungan Pelapor
Ketakutan akan intimidasi membuat partisipasi publik minim. Sering kali, pelapor justru dikriminalisasi balik (dilaporkan kembali) menggunakan pasal pencemaran nama baik (UU ITE) oleh pihak yang dilaporkan. Hal ini menciptakan efek jera dan pembungkaman yang serius, sehingga masyarakat memilih diam daripada mengambil risiko hukum.
F. Inflasi Regulasi dan Celah Hukum
Semakin banyak undang-undang yang dibuat tanpa implementasi tegas dan pengawasan transparan, justru menjadi bumerang. Tumpukan regulasi ini sering kali tidak sinkron sehingga menimbulkan celah hukum yang semakin banyak. Ironisnya, celah-celah inilah yang kerap dieksploitasi oleh para elite untuk memanipulasi kebijakan dan membenarkan tindakan mereka demi keuntungan pribadi.
Mega Korupsi Timah (Kerugian RP 300 Triliun)
Sebagai ilustrasi nyata atas tantangan di atas, kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (2015-2022) menjadi tamparan keras bagi tata kelola SDA Indonesia. Kejaksaan Agung mengungkap dugaan kerugian negara yang fantastis, mencapai kisaran Rp 300 triliun (termasuk kerugian ekologis). Kasus ini melibatkan persekongkolan jahat antara oknum pejabat BUMN, regulator daerah, dan pihak swasta yang melakukan penambangan ilegal namun seolah-olah legal melalui mekanisme kerja sama sewa peralatan.
​
Kasus ini adalah representasi sempurna dari Korupsi Sistemik:
-
State Capture (sistem politik korupsi): Bagaimana kepentingan bisnis swasta berhasil "membajak" kebijakan publik dan perusahaan negara (PT Timah) untuk keuntungan segelintir orang;
-
Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara: untuk pertama kalinya, valuasi kerugian tidak hanya menghitung uang yang hilang, tetapi juga biaya pemulihan lingkungan yang rusak parah. Ini adalah preseden hukum yang progresif;
-
Kegagalan Pengawasan: kasus ini berjalan bertahun-tahun, menandakan mandulnya fungsi pengawasan internal dan pembiaran oleh otoritas setempat (diduga akibat aliran dana suap).
Penutupan dan Rekomendasi
Pemberantasan korupsi di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Tantangan tidak hanya datang dari perilaku koruptif individu, tetapi juga dari sistem politik berbiaya tinggi dan pelemahan institusi pengawas.
Rekomendasi Langkah Ke Depan:
-
Reformasi Partai Politik: mendesak transparansi pendanaan parpol untuk memutus mata rantai politik uang;
-
Pengesahan RUU Perampasan Aset: instrumen vital untuk memiskinkan koruptor tanpa harus menunggu pembuktian pidana yang panjang;
-
Digitalisasi Terintegrasi: memperkuat One Map Policy dan integrasi data pajak-aset pejabat untuk meminimalisir celah penyembunyian harta;
-
Pendidikan Berkelanjutan: menanamkan nilai integritas sejak dini dalam kurikulum pendidikan nasional;
-
Pengawasan Independen terhadap Implementasi UU: membentuk atau memperkuat mekanisme monitoring independen (bisa melibatkan koalisi masyarakat sipil dan akademisi) khusus untuk mengawasi pelaksanaan UU terkait korupsi. Dengan tujuan memastikan setiap pasal dalam UU tidak hanya menjadi teks mati, tetapi ditegakkan secara konsisten. Pengawasan ini juga harus menyoroti kinerja aparat penegak hukum agar tidak ada "tebang pilih" atau penyalahgunaan celah hukum oleh elite demi keuntungan pribadi.






