top of page

Ketika Rasa Keadilan Mati
Bersama Korban

Latar Belakang

       Pada 28 Agustus 2025, ribuan buruh dan mahasiswa menggelar aksi lanjutan protes besar-besaran di kawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) /Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia. Dalam aksi protes besar-besaran ini massa menolak adanya kebijakan-kebijakan yang merugikan buruh. Aksi awal berlangsung damai, namun situasi memanas ketika terjadi bentrokan: aparat menembakkan senjata gas air mata, beberapa massa dipukul dan diseret hingga berdarah. Puncaknya, seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan tewas terlindas dan terseret kendaraan taktis Brigade Mobil (Brimob). Hal Ini memicu kemarahan publik dan sorotan nasional atas tindakan yang tidak berkemanusiaan oleh Kepolisian Negara Bagian Republik Indonesia (Polri).

​

      Hal ini bukan hanya mengkhianati rasa keadilan rakyat, tetapi juga menegaskan betapa buruknya sistem hukum di Indonesia. Lalu, apa artinya konstitusi jika aparat bersenjata bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum? Mengapa rakyat kecil selalu dipaksa tunduk pada aturan, sementara Polri bisa berdiri di atasnya seolah kebal hukum? Jika nyawa warga sipil saja tak lagi dihargai, apakah Polri masih layak disebut pelindung masyarakat atau justru ancaman bagi kemanusiaan itu sendiri?”.
 

Kronologi Kematian Pengemudi Ojek Online

        Tragedi ini bermula pada Aksi Akbar Buruh dan Mahasiswa yang digelar pada 28 Agustus 2025. Aksi tersebut lahir dari kekecewaan publik terhadap kebijakan DPR serta respons para anggotanya yang dinilai tidak bermoral. Massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online turun ke jalan untuk menuntut DPR, mengenai Kebijakan penghapusan outsourcing, tolak upah murah, tolak PHK sepihak, reformasi perburuhan, sahkan Rancangan Undang - Undang (RUU) Ketenagakerjaan tanpa Omnibus Law, percepat pemberantasan korupsi lewat RUU Perampasan Aset, dan revisi RUU Pemilu agar lebih adil bagi para Buruh. 

​

       Hingga pukul 18.10 WIB, ketegangan masih terjadi di beberapa titik sekitar Kompleks Parlemen, termasuk ruas Jalan Asia Afrika dan area dekat flyover Pejompongan. Ratusan demonstran tetap bertahan hingga malam, tepatnya pukul 19.25 WIB, di Jalan Penjernihan I, mereka berhadapan langsung dengan barikade polisi di depan SPBU Pejompongan. Sekitar pukul 19.27 WIB, sebuah kendaraan taktis Brimob melaju kencang di Jalan Bendungan Hilir, mencoba menerobos kerumunan.

​

       Massa berhamburan menghindar, namun Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, terjatuh saat menyeberang dan terlindas rantis tersebut. Affan sempat dilarikan ke RSCM, namun nyawanya tak tertolong. Tragedi itu memicu amarah baru pada masyarakat. Pada malam yang sama, massa langsung bergerak menuju Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, untuk menuntut pertanggungjawaban penuh dari kepolisian atas insiden tersebut. Tragedi tersebut menguatkan pandangan bahwa Polri tidak hanya gagal melindungi rakyat, tetapi justru menjadi pelaku pelanggaran Tindak Pidana terhadap masyarakat.

​

Dengan Ini Kami Menuntut Keadilan Berikut:

​

1. Hukum Secara Adil Semua Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) Pada Saat Aksi

  • Dasar Hukum:

    • UUD 1945 Pasal 28I ayat (4): Perlindungan dan penegakan HAM adalah tanggung jawab negara, khususnya Pemerintah;

    • UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: Pasal 71 mewajibkan pemerintah menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Dengan dasar ini, penghukuman terhadap pelanggar HAM bukan sekadar pilihan, melainkan mandat hukum nasional, yang wajib dilaksanakan.

  • Alasan:
    Impunitas aparat mencederai keadilan Hukum dan Konstitusi negara. Banyak kasus kekerasan yang dilakukan aparat hanya dijatuhkan “sanksi disiplin” (misalnya mutasi, teguran, demosi), bukan hukuman pidana yang setimpal dengan perbuatan nya (Retributive Justice). Kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti tahun 1998 hingga pelanggaran HAM terkini pada tragedi 28 Agustus 2025 membuktikan negara gagal menyelesaikan masalah ini. Penegakan hukum yang lebih tegas dan independen tanpa adanya politik kepentingan di dalamnya sangat diperlukan agar mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi.

2. Potong dan Efisiensikan Anggaran Polri untuk Dialokasikan ke Anggaran Pendidikan dan Kesehatan

  • Dasar Hukum:

    • UUD 1945 Pasal 31 ayat (1)–(5): Negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa;

    • UUD 1945 Pasal 34 ayat (2) dan (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Dengan demikian, prioritas anggaran negara secara eksplisit harus diutamakan pada pendidikan dan kesehatan sebagai hak dasar rakyat, bukan hanya dominan terhadap institusi represif kepentingan segelintir lembaga;

    • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: Pasal 49 ayat (1): dana pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) / Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun pada Fakta di lapangan, anggaran Polri terus membengkak, sementara masih banyak sekolah dan universitas yang masih kekurangan fasilitas dasar. Artinya, efisiensi anggaran Polri dapat menjadi sumber riil untuk menutup celah kewajiban negara di sektor pendidikan;

    • UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
      Pasal 171 ayat (2): pemerintah wajib mengalokasikan anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji pokok. Realisasi ini sering tidak tercapai dengan dalih keterbatasan anggaran, padahal alokasi anggaran Polri mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun. Pemotongan anggaran Polri berarti mengembalikan prioritas anggaran ke hak dasar rakyat sesuai mandat  Undang-Undang Dasar 1945.

  • Alasan:
    Anggaran Polri besar tapi tidak sebanding dengan kinerja pelayanan. Sementara akses pendidikan dan kesehatan rakyat masih minim. Anggaran harus diprioritaskan pada kebutuhan dasar rakyat, bukan memperbesar aparatus represif.

3. Reformasi Polri dan Kroni di Dalamnya

  • Dasar Hukum:

    • UUD 1945 Pasal 30 ayat (4): Polri alat negara, bukan alat kekuasaan.

    • UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI: Pasal 13 – 14 → Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan, menegakkan hukum, melindungi, dan mengayomi masyarakat. Pasal 29 – 30 → Anggota Polri tunduk pada peraturan pidana umum, disiplin, dan kode etik. Bila menyalahgunakan jabatan, maka dapat diberhentikan secara tidak hormat (PTDH) atau dipidana.

  • Alasan:
    Reformasi Polri bukan sekadar kebutuhan politik, melainkan keharusan konstitusional. UUD 1945 secara jelas menolak adanya kekuasaan tanpa batas, dan UU Kepolisian menegaskan fungsi Polri sebagai pelindung rakyat, bukan penguasa yang menakutkan rakyat. Namun, ketika Polri menyalahgunakan jabatan, melanggar hukum, dan bahkan menghilangkan nyawa, maka dasar hukum menuntut adanya pembaruan sistemik: dari penegakan kode etik, penghapusan budaya impunitas, hingga pembentukan mekanisme pengawasan independen. Tanpa reformasi, Polri justru menjadi ancaman bagi rule of law yang seharusnya mereka junjung. 

4. Bentuk Sistem Pengawasan Independen atas Polri

  • Dasar Hukum:

    • UUD 1945 Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang adil;

    • UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 89 ayat (3) dan (4): Komnas HAM dapat menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan oleh siapapun, termasuk Aparat Penegak Hukum itu sendiri, dan setiap orang yang terbukti melakukan pelanggaran HAM dapat dijatuhkan Pidana Penjara bahkan Pidana Mati (pada perkara pelanggaran HAM Berat).

  • Alasan:
    Pengawasan internal seperti Propam tidak efektif, sehingga perlu adanya reformasi sistem lembaga independen pengawas Polri, agar pelanggaran yang dilakukan aparat tidak ditutup-tutupi, sekaligus menegakkan prinsip akuntabilitas publik.

5. Hapus Anggaran Polri untuk Buzzer dan Pengendalian Opini Publik

  • Dasar Hukum:

    • UUD 1945: Pasal 28F: Hak atas informasi yang benar. Pasal 28E ayat (3): Menjamin kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul → anggaran buzzer Polri yang dipakai untuk membungkam kritik bertentangan dengan konstitusi;

    • UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

    • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih.

  • Alasan:
    Anggaran negara seharusnya tidak dipakai untuk propaganda dan cyber troop, bahkan menurut Undang-Undang, keuangan negara seharusnya digunakan secara prioritas untuk kesejahteraan rakyatnya. Maka dari itu anggaran Polri untuk buzzer adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan dapat merugikan negara, Polri seharusnya fokus pada pelayanan hukum, bukan manipulasi opini publik.

6. Copot Jabatan Kapolri dan Tolak RUU KUHAP

  • Dasar Hukum:

    • UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): Indonesia negara hukum, bukan negara kekuasaan;

    • UUD 1945 Pasal 28D ayat (1): Hak atas kepastian hukum yang adil;

    • UU No. 2 Tahun 2002 Pasal 25: Presiden berwenang mengangkat/memberhentikan Kapolri.

  • Alasan:
    Kapolri gagal mengendalikan aparat, terbukti dari tragedi penabrakan pada 28 Agustus 2025. Pencopotan Kapolri adalah langkah akuntabilitas, jika Kapolri gagal menjalankan fungsi dasar Polri—terutama ketika terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat di bawah komandonya, maka pemberhentian adalah langkah konstitusional. Kapolri tidak hanya bertanggung jawab secara administratif, tetapi juga moral dan hukum. Menilik dari adanya Imunitas pada Polri, maka perubahan pada RUU KUHAP juga harus ditolak karena memperkuat kewenangan aparat dalam penyidikan tanpa perlindungan HAM, dan berpotensi memperbesar represi terhadap rakyat. Kekhawatiran utama pada RUU KUHAP adalah soal terhambatnya penyidikan berbasis keahlian teknis, melemahkan sistem check and balance, serta membuka risiko tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum seperti PNS, kejaksaan, dan KPK.

 

Argumentasi

           Polri yang baru saja mencoreng wajah kemanusiaan lembaga negara dengan menabrak pengemudi Ojek Online hingga tewas, kini kembali dipoles dengan wacana RUU KUHAP yang menjadikan mereka sebagai penyidik utama. Di sini publik harus kritis: Bukankah ini pola pengalihan isu? Tragedi pelanggaran HAM aparat diredam dengan isu legislasi yang seolah-olah bernuansa teknis hukum, padahal substansinya justru memperbesar kuasa Polri tanpa kontrol. Sementara itu, DPR yang tengah disorot karena kepentingannya, dengan cerdik bersembunyi di balik sorotan pada aparat. Pertanyaannya: sampai kapan rakyat dipaksa melupakan darah yang tumpah demi permainan politik dan hukum yang menguntungkan segelintir elite?

 

Kesimpulan

Ketegangan antara rakyat dan pemerintah memuncak akibat kebijakan yang merugikan publik dan perlakuan aparat yang represif. Aksi 28 Agustus 2025 menegaskan kontradiksi antara idealisme negara hukum dan praktik kekuasaan yang tidak seimbang. DPR mengedepankan kepentingan elitis, sementara rakyat menghadapi realitas keras seperti upah murah, PHK sepihak, dan ketidakpastian hukum. Tragedi penabrakan seorang pengemudi ojek online oleh rantis Brimob menegaskan aparat yang seharusnya melindungi justru melanggar hak asasi manusia tanpa akuntabilitas tegas. Tuntutan massa bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan artikulasi rasional atas krisisnya keadilan struktural. 

Pertanyaannya, Apakah hukum yang melindungi penguasa dan aparat masih layak disebut hukum atau hanya alat represi?

Copyright © 2024 Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Tarumanagara

​

  • Instagram
  • Facebook
  • X
  • Youtube
  • TikTok
bottom of page