1 Tahun Prabowo–Gibran: Menakar Efektivitas Kepemimpinan atau Saatnya Evaluasi Arah Kebijakan?
Latar Belakang
​
Setelah kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilu 2024, pemerintahan baru ini dilantik pada Oktober 2024 dengan janji besar melalui Asta Cita Bangsa sebagai blueprint politik, mencakup delapan cita-cita utama seperti kedaulatan pangan, ekonomi rakyat, dan pembangunan manusia unggul. Harapan publik tinggi terhadap perubahan nyata, terutama melalui program-program konkret seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Kartu Kesejahteraan Sosial (KKS), pembangunan desa, Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta reformasi di sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan birokrasi, yang dijanjikan akan mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial dengan alokasi anggaran masif dari APBN 2025.
​
Namun, satu tahun berjalan menunjukkan paradoks antara retorika dan realitas, menurut data pada tahun 2025 mengungkap kegagalan implementasi seperti penyalahgunaan dana hingga 45% pada bansos, kasus keracunan di MBG, kebocoran Rp14-17 triliun di BLT, serta proyek mangkrak seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program food estate yang boros dan terhitung gagal sampai merusak kurang lebih 600 Hektare hutan di Kalimantan. Kritik juga muncul dari penyempitan ruang demokrasi, kriminalisasi aktivis, dan kebijakan tambang nikel yang merusak lingkungan, menegaskan perlunya evaluasi kritis untuk memastikan akuntabilitas dan keberpihakan pada rakyat, bukan sekadar legitimasi politik.
​
Janji Program Kerja Kabinet Merah Putih
A. Asta Cita Bangsa sebagai Blueprint Politik
Selama satu tahun pemerintahan yang mengusung blueprint kebijakan bernama Asta Cita delapan misi besar untuk menuju “Indonesia Emas 2045” terdapat sejumlah capaian yang diklaim, namun sejumlah persoalan nyata tersebut belum terjawab secara memadai. Misalnya, pemerintah menyebutkan alokasi APBN untuk mendukung Asta Cita mencapai Rp 75,63 triliun untuk tahun anggaran 2025 , namun mekanisme pengawasan dan transparansi alokasi tersebut di tingkat desa dan daerah lokal tetap diragukan komisi pengawas menyatakan bahwa dana desa sangat rawan penyalahgunaan bila pengawasan minim . Dengan demikian, meskipun ada program yang diumumkan untuk “membangun dari desa dan dari bawah” (misi ke-6) , fakta di lapangan menunjukkan bahwa harmonisasi kebijakan pusat-daerah masih lemah , data implementasi tidak publik dikelola secara terbuka, dan efektivitas program bagi masyarakat akar rumput belum tampak secara jelas. Pada akhirnya, meskipun retorika “merata dan adil” dikedepankan, realitasnya justru memperlihatkan bahwa satu tahun jalan masih lebih
banyak janji daripada bukti dan ini mengundang keraguan apakah Asta Cita dipakai sebagai roadmap serius atau sekadar blueprint politik.
B. Janji Konkret Kampanye (2024)
1. Program Makan Siang Gratis
​
Satu tahun pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di era pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan hasil yang jauh dari kata sempurna. Meskipun klaim resmi menyebut sudah menyasar 36,7 juta penerima dengan 1,4 miliar porsi dibagikan, kenyataan di lapangan masih sering ditemukan masalah serius seperti kasus keracunan kurang lebih 11.000 orang dan sakit perut yang menimbulkan pertanyaan mendalam soal pengawasan keamanan makanan. Selain itu, cakupan program baru mencapai sebagian kecil dari target 82,9 juta penerima, dengan data menunjukkan penerima sejati masih jauh dari target dan distribusi yang belum merata terutama bagi ibu hamil dan balita sebagai kelompok rentan yang sangat membutuhkan intervensi tepat guna. Tekanan anggaran yang melonjak dari Rp 71 triliun ke Rp171 triliun juga harus diimbangi dengan evaluasi kualitas layanan dan transparansi penggunaan dana, tanpa hanya terjebak pada angka kuantitatif. Sejatinya, program ini membutuhkan penguatan mekanisme kontrol mutu dan upaya serius memperbaiki distribusi agar tidak sekadar janji makan gratis tetapi benar-benar berdampak pada peningkatan gizi masyarakat secara merata dan berkelanjutan.
​
2. Kartu Kesejahteraan Sosial
​
Program Kartu Kesejahteraan Sosial (KKS) yang diusung dalam satu tahun pemerintahan ini menunjukkan sejumlah masalah nyata yang mengindikasikan perlunya evaluasi serius. Data terbaru 2025 mengungkap kegagalan distribusi bansos akibat data yang tidak sinkron dan proses verifikasi yang berbelit, menyebabkan sekitar 10 juta penerima KKS ditahan dana bantuannya, dengan potensi anggaran mencapai Rp2 triliun yang mengendap tanpa kejelasan. Kondisi ini mengancam kelangsungan hidup keluarga miskin yang sangat bergantung pada bantuan tersebut. Selain itu, pencoretan 1,9 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari daftar penerima bansos pada triwulan II 2025 semakin menegaskan lemahnya manajemen data dan sistem pendataan yang kurang akurat. Sistem administrasi yang masih kacau tersebut menimbulkan ketidakadilan sosial, dengan beberapa keluarga yang berhak justru tereliminasi dari bantuan dan sebaliknya ada penerima yang tidak berhak kebagian dana.
​
3. Pembangunan Desa dan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
​
Program pembangunan desa dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) termasuk skema BLT Dana Desa menghadapi krisis akuntabilitas mendasar yang mengancam kredibilitas upaya pengentasan kemiskinan. Meskipun Presiden Prabowo telah menginstruksikan penyaluran yang tepat sasaran dan menerbitkan Instruksi Presiden mengenai Data Tunggal (DTSEN) sebagai solusi perbaikan, temuan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Komunikasi Pemerintah tahun 2025 justru menunjukkan adanya kegagalan masif dalam penentuan sasaran. Sebanyak 45% penerima bantuan sosial, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (Sembako), dinilai tidak tepat sasaran.
Ketidaktepatan struktural tersebut diperkirakan menimbulkan kebocoran anggaran negara sebesar Rp 14 triliun hingga Rp 17 triliun per tahun. Kegagalan sistem data yang bersifat struktural ini tidak hanya menciptakan hambatan birokrasi yang mengakibatkan keterlambatan penyaluran BLT Dana Desa dan Bansos Tahap IV tahun 2025, tetapi juga diperparah oleh lemahnya mekanisme pengawasan di tingkat lokal. Kondisi ini tercermin dari sejumlah kasus korupsi yang melibatkan mantan kepala desa terkait penyelewengan dana BLT yang berujung pada vonis pidana penjara.
​
4. Peningkatan Produktivitas Pertanian
​
​Alih-alih mengatasi masalah struktural yang akut, program Peningkatan Produktivitas Pertanian di tahun 2025 didominasi oleh mis-alokasi dana yang masif dan fokus jangka pendek, terbukti dari reprioritasi anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar Rp23,61 Triliun yang terkonsentrasi pada proyek ekstensifikasi lahan berisiko tinggi seperti cetak sawah baru (225 ribu hektare) dan pompanisasi, termasuk alokasi modal besar mencapai Rp8,2 Triliun khusus untuk konstruksi cetak sawah yang rentan kegagalan dan kritik keberlanjutan. Kontradiksi paling tajam terlihat pada sektor hulu: di tengah target produksi beras 32,83 juta ton yang sangat ambisius, tata kelola input krusial seperti pupuk bersubsidi justru menunjukkan inefisiensi sistemik dengan skor efektivitas agregat hanya 73% di bawah standar baik. Inefisiensi ini disebabkan oleh kegagalan tata kelola data di mana 13% Nomor Induk Kependudukan (NIK) petani yang terdaftar di e-RDKK dinyatakan tidak valid dan 47% responden menilai alokasi pupuk tidak mencerminkan kebutuhan riil di lapangan, menegaskan bahwa dana triliunan rupiah hanya dialirkan ke program yang mengabaikan akurasi data, transparansi harga (di mana 25% petani tidak tahu Harga Eceran Tertinggi/HET), serta pengawasan di tingkat desa, sehingga sulit mencapai swasembada yang berkelanjutan.
5. Peningkatan Layanan Pendidikan dan Kesehatan
​
​Setelah satu tahun berjalan, program Peningkatan Layanan Pendidikan dan Kesehatan di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan paradoks kebijakan yang mengkhawatirkan: fokus anggaran yang masif telah mengorbankan fondasi layanan publik dan transparansi. Di sektor pendidikan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) menyerap hampir separuh anggaran pendidikan negara, yakni sekitar Rp 335 triliun, menyebabkan krisis biaya peluang yang serius, dana krusial untuk kesejahteraan guru dan riset mendalam terabaikan. Selain itu, laporan kasus keracunan yang terjadi selama implementasi program MBG menunjukkan lemahnya pengawasan independen dan standar kualitas yang rendah, mengikis kepercayaan publik. Sementara itu, dalam pelayanan kesehatan, upaya ‘efisiensi’ anggaran justru membatasi akses masyarakat, di mana program Cek Kesehatan Gratis (CKG) di Puskesmas dibatasi secara ketat hanya 30 kuota per hari, mengubah janji layanan universal menjadi lotere kesehatan terbatas. Ketidakseimbangan prioritas fiskal ini, ditambah dengan kekhawatiran umum mengenai komitmen anti-korupsi di tengah proyek-proyek strategis berisiko tinggi , menegaskan bahwa program-program unggulan ini perlu segera dievaluasi dan direkalibrasi secara fundamental, demi mencegah penyalahgunaan dan memastikan efektivitas yang nyata.
​
6. Kenaikan Gaji Aparatur Sipil Negara (ASN)
​
​Meskipun diumumkan sebagai fokus utama Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025, implementasi kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 merupakan mis-alokasi dana kesejahteraan yang fatal dan regresif. Kenaikan gaji ini, yang meliputi PNS, PPPK, TNI, Polri, dan Pejabat Negara baru berlaku efektif pada Oktober 2025 terbukti tidak proporsional, di mana ASN Golongan I dan II (staf pelaksana) hanya mendapat 8%, sementara Golongan IV (pejabat senior) menerima kenaikan tertinggi sebesar 12%. Struktur persentase yang timpang ini menciptakan ketidakadilan absolut: secara nominal, kenaikan yang diterima pejabat Golongan IV yang bergaji tertinggi (maksimal Rp 6,3 juta) hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan kenaikan yang diterima ASN Golongan Ia. Fokus kebijakan yang mengutamakan 'penghargaan status' bagi birokrat bergaji tinggi ini dinilai tidak efektif dalam memacu Reformasi Birokrasi, dan alih-alih meningkatkan daya beli merata, justru memperlebar jurang kesenjangan internal di tengah tekanan fiskal APBN 2025.
​
7. Penurunan Kemiskinan dan Pengangguran
​
​Secara agregat, tahun pertama Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menunjukkan resiliensi ekonomi makro yang positif, ditandai dengan penurunan persentase penduduk miskin menjadi 8,47 persen pada Maret 2025 dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang turun menjadi 4,76 persen pada Mei 2025. Namun, capaian ini tertutupi oleh kegagalan struktural yang masif dalam tata kelola dan akuntabilitas program perlindungan sosial. Meskipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalokasikan dana perlindungan sosial sebesar Rp 504,7 triliun, pemerintah sendiri mengakui adanya penyalahgunaan dana hingga 45 persen dari distribusi Bantuan Sosial (Bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) dan Sembako, yang setara dengan potensi kerugian fiskal sebesar Rp 14 triliun hingga Rp 17 triliun. Angka kebocoran dana publik ini diperparah dengan fakta bahwa 616.367 keluarga penerima manfaat PKH dan 1.286.066 KPM Bantuan Sembako masih menerima bantuan padahal sudah tidak layak, menunjukkan bahwa Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) gagal diimplementasikan secara efektif, sehingga ketidaktepatan sasaran bansos pada skala ini dikategorikan sebagai Maladministrasi. Kegagalan pengawasan juga merembet pada program unggulan baru, Makan Bergizi Gratis (MBG), yang realisasi anggarannya mencapai Rp5 triliun pada tahap I 2025, namun menciptakan risiko kesehatan publik yang nyata, terbukti dengan insiden keracunan massal yang menimpa 5.626 anak pada September 2025, menegaskan bahwa ambisi kuantitas program telah mengorbankan kualitas dan jaminan keamanan, yang secara fundamental merusak kredibilitas intervensi negara dalam mengatasi kemiskinan dan malnutrisi.
​
​
Politik Keberlanjutan yang Mangkrak di Era Prabowo–Gibran
1. IKN: Proyek Simbolik yang Boros
​
Sejak 2022 hingga 2024, pembangunan Ibu Kota Nusantara telah menghabiskan Rp75,8 triliun dari APBN, dengan Rp43,4 triliun terealisasi di 2024 (97% dari pagu).
Namun, progres lapangan masih jauh dari target dan investasi swasta belum jelas. Proyek ini lebih menyerupai simbol politik pembangunan ketimbang solusi pemerataan ekonomi.
Alih-alih membangun pemerintahan yang efisien, IKN justru membuka potensi penggelembungan biaya dan proyek elitis yang minim manfaat langsung bagi rakyat.
​
2. Swasembada Pangan: Ambisi Lama, Pola Lama
​
Program food estate dan swasembada pangan kembali diusung dengan anggaran besar Rp124,4 triliun di 2025, tapi baru Rp73,6 triliun terserap hingga September. Program ini berulang kali dikritik karena tidak efektif, merusak lingkungan, dan mengabaikan petani kecil. Pendekatan top-down yang mengandalkan proyek besar tanpa perbaikan tata kelola hanya memperluas lumbung gagal baru dengan biaya politik dan ekologis yang tinggi.
3. Reshuffle dan Restrukturisasi Kementerian: Efisiensi yang Gagal
​
Setahun terakhir, pemerintah juga aktif melakukan reshuffle dan pemisahan struktur kementerian. Beberapa lembaga baru dibentuk, sementara sejumlah kementerian dipecah dan diisi oleh struktur staf yang membengkak. Akibatnya, negara harus mengalokasikan kembali dana besar untuk pembangunan kantor baru, penggajian pejabat tambahan, serta fasilitas operasional, tanpa penjelasan transparan mengenai urgensi dan efektivitas perubahan tersebut.
Langkah ini menandai bahwa kebijakan birokrasi justru semakin gemuk dan politis, bukannya efisien. Alih-alih memperkuat koordinasi antar instansi, restrukturisasi ini justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan pemborosan fiskal.
​
4. Politik Keberlanjutan Tanpa Evaluasi
​
Baik dalam proyek besar maupun struktur pemerintahan, rezim ini tampak melanjutkan tanpa memperbaiki. Tidak ada audit publik, tidak ada evaluasi efektivitas kebijakan. Keberlanjutan yang diklaim hanyalah perpanjangan pola lama: birokrasi gemuk, anggaran terserap, namun hasilnya minim. Transparansi publik makin berkurang, sementara ruang partisipasi rakyat makin sempit.
​
Narasi “melanjutkan yang sudah baik” di bawah rezim Prabowo–Gibran terbukti menyembunyikan politik pemborosan dan inefisiensi.
Dari IKN hingga food estate, dari restrukturisasi kementerian hingga penambahan pejabat, semua menunjukkan pola ekspansi anggaran tanpa hasil nyata.
Jika arah ini terus berlanjut tanpa reformasi birokrasi dan transparansi fiskal, maka “keberlanjutan” hanya akan menjadi topeng untuk melanggengkan kegagalan lama dalam format baru
Kelemahan Implementasi Kebijakan
1. Tuntutan 17+8
​
Pada pertengahan bulan oktober 2024 lalu tepatnya setelah Pemilu 2024. menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Lahir lah tuntutan 17+8 yang bermaksud sebagai reaksi politik dan sosial dari berbagai elemen mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil. Kekecewaan publik muncul karena: Proses politik dianggap tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, penuh oligarki dan intervensi kekuasaan, kekhawatiran akan kelanjutan gaya pemerintahan otoriter dan elitis (kepercayaan bahwa sekelompok kecil orang yang lebih superior lebih pantas memegang kekuasaan atau pengaruh) seperti pada periode sebelumnya serta banyak janji kampanye yang dinilai populis tapi tidak menyentuh akar persoalan rakyat. Gerakan ini lahir dari krisis kepercayaan terhadap elite politik dan menjadi simbol bahwa rakyat tetap waspada bahkan setelah pemilu usai. “Tuntutan 17+8” adalah pengingat bahwa demokrasi sejati bukan hanya tentang kemenangan elektoral (pemilih yang memiliki hak suara dalam pemilihan), tapi tentang keberpihakan nyata pada rakyat.
​
2. Perizinan yang merusak lingkungan
​
Kebijakan tambang nikel di era Prabowo Subianto menunjukkan langkah tegas dengan pencabutan beberapa izin tambang bermasalah, seperti di Raja Ampat. Namun, kebijakan ini tetap menuai kritik dari sisi lingkungan. Aktivitas tambang di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, Halmahera, dan Morowali telah menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air laut, dan hilangnya habitat alami. Limbah tambang yang mengandung logam berat mencemari sungai dan laut, merusak terumbu karang, serta mengganggu mata pencaharian nelayan. Banyak masyarakat adat kehilangan lahan tanpa dilibatkan dalam proses perizinan, yang memicu konflik sosial dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Meski pemerintah telah mencabut sejumlah izin, penegakan hukum dan upaya pemulihan lingkungan masih lemah. Menurut JATAM (Juni 2025), langkah pencabutan izin di Raja Ampat patut diapresiasi, tetapi tanpa audit lingkungan dan tanggung jawab pemulihan, kebijakan itu hanya bersifat kosmetik.
Selain itu, beberapa warga yang menolak penggusuran akibat proyek tambang dilaporkan mengalami kriminalisasi dengan tuduhan menghalangi investasi atau menguasai lahan negara, padahal tanah tersebut merupakan lahan adat turun-temurun. Kasus semacam ini terjadi di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa hukum di sektor tambang lebih berpihak pada korporasi dibanding rakyat. Contohnya, warga Sangaji di Halmahera, Maluku Utara, menolak tambang nikel karena merusak lingkungan dan mencemari sumber air. Penolakan damai ini berujung pada kriminalisasi: mereka dijerat Pasal 162 UU Minerba serta Pasal 170 dan 406 KUHP. Kasus ini menjadi gambaran nyata bagaimana hukum digunakan untuk membungkam masyarakat adat yang mempertahankan hak atas tanah dan lingkungannya.
​
3. Ruang demokrasi terasa semakin sempit
​
Dalam satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, ruang demokrasi di Indonesia dinilai semakin menyempit. Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tindakan represif aparat terhadap masyarakat dan aktivis yang menyuarakan kritik meningkat tajam. Temuan CELIOS (Lembaga Riset Ekonomi di Inodonesia) menunjukkan bahwa 28% responden menilai kebebasan sipil tidak terlindungi, dan hanya 13% yang merasa aman menyampaikan pendapat. Berdasarkan Laporan dari Amnesty International Indonesia menegaskan adanya erosi serius terhadap hak asasi manusia, dengan 5.538 korban kekerasan aparat selama berbagai aksi protes sepanjang 2025. Dari jumlah itu, 12 aktivis ditahan, 2 orang hilang, dan 10 orang meninggal dalam aksi Agustus 2025 yang belum diusut secara tuntas. Selain kekerasan fisik, repressi hukum juga meningkat melalui penggunaan sejumlah undang-undang bermasalah yang mempersempit ruang gerak masyarakat sipil:
A. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
UU ini kerap digunakan untuk mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah, jurnalis, dan aktivis di media sosial. Pasal karet seperti “pencemaran nama baik” dan “ujaran kebencian” sering disalahgunakan untuk membungkam perbedaan pendapat.
B. UU Cipta Kerja
Undang-undang ini mempermudah investasi besar dengan mengorbankan perlindungan buruh dan lingkungan. Banyak aturan yang melemahkan hak pekerja, mempermudah izin tambang, serta mengabaikan prinsip partisipasi publik dalam perencanaan kebijakan.
C. UU Minerba (Mineral dan Batubara)
Aturan ini memperkuat dominasi korporasi tambang dan melemahkan posisi masyarakat adat. Pasal 162 UU Minerba bahkan digunakan untuk mempidanakan warga yang menolak tambang di wilayah mereka, seperti kasus di Halmahera dan Sulawesi Tengah.
D. UU TNI dan Polri
Revisi kebijakan pertahanan dan keamanan memperluas peran militer di ranah sipil, yang berpotensi meningkatkan represi dan impunitas aparat. Ini bertentangan dengan semangat reformasi yang seharusnya menegaskan kontrol sipil atas militer. Bukan nya malah memberikan supremasi hukum bagi aparat.
​
Kesimpulan
​
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan bahwa kekuasaan masih dijalankan dalam kerangka simbolik ketimbang substansial demi kepentingan ‘KABINET GEMUK” tersebut. Janji-janji besar seperti Makan Bergizi Gratis dan Beasiswa Sekolah Rakyat lebih banyak berfungsi sebagai legitimasi politik dibanding instrumen perubahan sosial yang terukur. Pemerintah tampak sibuk membangun narasi keberpihakan pada rakyat, namun gagal menghadirkan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berbasis data. Di sisi lain, pelemahan ruang demokrasi, kriminalisasi aktivis, serta konflik agraria akibat proyek dan tambang menegaskan bahwa orientasi kekuasaan tetap condong pada stabilitas politik dan kepentingan korporasi, bukan pada keadilan sosial.
​
Evaluasi tahun pertama ini menyingkap paradoks mendasar di tengah jargon kedaulatan rakyat dan pembangunan inklusif, negara justru semakin berjarak dari rakyatnya. Jika pola ini berlanjut, pemerintahan Prabowo–Gibran berisiko menjadi kelanjutan rezim lama dengan wajah baru. Berbeda retorika, namun sama dalam watak kekuasaan.
Argumentasi
-
Di mana letak tanggung jawab dan rasa malu seorang pemimpin bila program kerja yang dijanjikan kepada rakyat justru menguap setelah kemenangan diraih?






